FILOSOFI, SAINS DAN NILAI QUR’ANI SEBAGAI CERMIN KEMANUSIAAN DI ERA MODERN

Tuesday, 28 October 2025

Oleh Humas

Universitas Muhammadiyah Pekajangan Pekalongan (UMPP)

Setiap tanggal 20 November, dunia memperingati World Philosophy Day atau Hari  Filsafat Sedunia. Peringatan ini menjadi momentum penting bagi akademisi dan masyarakat  luas untuk menegaskan kembali peran filsafat dalam membangun cara berpikir yang kritis,  rasional dan etis. Di tengah dinamika global yang serba cepat dan kompleks, filsafat hadir  sebagai lentera yang menuntun manusia memahami hakikat kehidupan, makna keberadaan,  serta tanggung jawab moralnya terhadap sesama dan alam. 

Filsafat tidak hanya berbicara tentang teori-teori abstrak, tetapi juga mengajarkan cara  berpikir reflektif yang berorientasi pada kebijaksanaan. Dalam sejarahnya, para filsuf seperti  Socrates, Plato, Al-Farabi, Ibnu Sina dan Al-Ghazali mengajarkan bahwa berpikir mendalam  merupakan bentuk ibadah intelektual yang memuliakan akal sebagai anugerah Allah. Filsafat  mendorong manusia untuk tidak berhenti bertanya, sebab dari pertanyaan lahir pengetahuan,  dan dari pengetahuan lahir pemahaman yang menuntun pada kebijaksanaan. 

Dalam konteks modern, hubungan antara filsafat dan sains menjadi sangat erat. Filsafat  menuntun arah dan etika dari perkembangan sains, sementara sains memberikan bukti empiris  bagi refleksi filosofis. Ilmu pengetahuan tanpa nilai akan kehilangan orientasi, sedangkan  filsafat tanpa data ilmiah akan kehilangan pijakan. Sinergi keduanya menghasilkan kemajuan  yang bermakna, yakni kemajuan yang tidak sekadar menaklukkan alam, tetapi menjaga  keseimbangannya. Hal ini sejalan dengan prinsip rahmatan lil ‘alamin bahwa ilmu dan  teknologi seharusnya membawa keberkahan bagi seluruh makhluk. 

Al-Qur’an juga menegaskan pentingnya berpikir dan meneliti. Dalam QS. Al-‘Alaq ayat  1–5, Allah berfirman: “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan...” Ayat ini bukan  hanya perintah membaca teks, tetapi juga membaca semesta. Islam mendorong umatnya untuk  berpikir ilmiah dan filosofis, karena dibalik setiap fenomena terdapat tanda-tanda kebesaran  Allah. Begitu pula QS. Yunus ayat 101 memerintahkan manusia untuk memperhatikan apa  yang ada di langit dan bumi, sebagai sarana menguatkan keimanan melalui sains dan observasi.  Dengan demikian, berpikir filosofis dan ilmiah merupakan manifestasi dari ibadah intelektual  yang Qur’ani. 

Dalam pendidikan tinggi, integrasi antara filsafat, sains dan nilai-nilai Qur’ani menjadi  pondasi penting bagi pembentukan karakter akademik. Mahasiswa perlu dibimbing agar tidak  hanya menguasai teori, tetapi juga memahami makna etis dan spiritual dari ilmu yang  dipelajarinya. Pendekatan ini melahirkan scientific reasoning yang berlandaskan moral, serta  moral reasoning yang diperkuat oleh bukti ilmiah. Di lingkungan universitas berlatar belakang  Islam, perpaduan ini menjadi ciri khas pendidikan yang berkeadaban sehingga membentuk  insan yang berilmu, beriman dan berakhlak mulia. 

Hari Filsafat Sedunia juga mengingatkan pentingnya budaya dialog. Dalam dunia yang  mudah terpecah oleh perbedaan pandangan, filsafat mengajarkan bahwa berdiskusi dengan  nalar terbuka adalah wujud kematangan intelektual. Islam pun menegaskan pentingnya  berdialog dengan hikmah, sebagaimana dalam QS. An-Nahl ayat 125: “Serulah (manusia)  kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan 

cara yang baik.” Nilai-nilai ini selaras dengan semangat akademik yang menghargai  keberagaman ide dan kebenaran yang bersifat terbuka untuk diuji. 

Pada akhirnya, filsafat, sains dan nilai-nilai Qur’ani merupakan tiga pilar utama dalam  membangun peradaban manusia yang beradab dan bermoral. Filsafat menuntun arah berpikir,  sains memperluas wawasan empiris dan Al-Qur’an memberikan cahaya spiritual yang  menyinari keduanya. Ketiganya menjadikan manusia bukan hanya cerdas secara intelektual,  tetapi juga bijak secara moral dan spiritual. 

Dengan semangat Hari Filsafat Sedunia, marilah kita jadikan refleksi, dialog dan  pencarian kebenaran sebagai bagian dari perjalanan akademik yang terus hidup. Karena  sejatinya, filsafat bukan hanya untuk dipelajari, tetapi untuk dihayati sebagai cermin  kemanusiaan yang memandu langkah menuju ilmu yang bermartabat dan kehidupan yang  bermakna dibawah sinaran cahaya Ilahi.




apt. Yulian Wahyu Permadi, S.Farm., M.Si. 

Dosen Program Studi Sarjana Farmasi 

Universitas Muhammadiyah Pekajangan Pekalongan