Redefinisi Profesi Guru di Era Disrupsi Pada Momentum Hari Guru Nasional

Tuesday, 25 November 2025

Oleh R.Kurniawan Dwi Septiady

Universitas Muhammadiyah Pekajangan Pekalongan (UMPP)

Abstrak

Hari Guru Nasional (HGN) di Indonesia, yang diperingati setiap tanggal 25 November, bukan hanya momen perayaan, tetapi juga waktu refleksi kritis terhadap peran dan redefinisi profesi guru di tengah perubahan global yang cepat dan disrupsi teknologi. Artikel ini membahas pergeseran paradigma profesi guru dari sekadar penyampai informasi menjadi fasilitator pembelajaran, desainer pengalaman belajar, dan agen perubahan sosial. Redefinisi ini menuntut transformasi kompetensi, mulai dari penguasaan pedagogi digital, literasi multikultural, hingga kemampuan coaching dan pendampingan personal. Diperlukan kebijakan yang mendukung pengembangan profesional berkelanjutan, otonomi guru, dan pengakuan yang lebih komprehensif terhadap kontribusi guru dalam membentuk masa depan bangsa.

Profesi guru telah lama dihormati sebagai pilar utama dalam pembangunan sumber daya manusia (SDM) suatu negara.Di Jepang pasca kekalahanya pada Perang Dunia II Guru sangat penting bagi Kekaisaran Jepang karena mereka dianggap sebagai pilar utama dalam pembangunan kembali negara pasca-Perang Dunia II, terutama untuk membentuk kembali mentalitas dan nilai-nilai masyarakat. Di Indonesia, Hari Guru Nasional menjadi pengingat akan dedikasi para pendidik. Namun, era disrupsi yang ditandai dengan revolusi industri 4.0 dan Society 5.0 telah menghadirkan tantangan eksistensial bagi profesi ini. Akses tak terbatas terhadap informasi melalui internet menipiskan peran guru sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Oleh karena itu, diperlukan upaya sistematis untuk merefleksikan dan mendefinisikan kembali esensi profesi guru agar tetap relevan di abad ke-21. Redefinisi ini melampaui perubahan administratif; ia menuntut transformasi epistemologis dan praksis pedagogis.

Pergeseran Paradigma Profesi Guru

Redefinisi profesi guru berpusat pada pergeseran peran utama dari “Sage on the Stage” menjadi “Guide on the Side” (King, 1993). Peran baru ini mencakup beberapa aspek kunci: Guru sebagai Desainer Pembelajaran (Learning Designer) Di tengah kurikulum yang dinamis, guru dituntut tidak hanya mengimplementasikan tetapi juga merancang pengalaman belajar yang personalized dan bermakna. Ini melibatkan integrasi teknologi pendidikan (EdTech) dan metode pembelajaran yang berpusat pada siswa (student-centered).

"Peran guru telah berubah dari sekadar memberikan pengetahuan menjadi menciptakan lingkungan di mana siswa dapat membangun pengetahuan mereka sendiri, berkolaborasi, dan memecahkan masalah kompleks yang relevan dengan dunia nyata." (Fullan & Quinn, 2016, hlm. 45) Peran ini menghadapi tantangan Internal dari dalam pemikiran guru itu sendiri terkadang bagi guru yang belum menghayati kesadaran Jiwa Profesi tang dijalani terjebak dalam stuasi psikologis Ego Superioritas Komleks bahkan Megalomania, dimana perasaan sebagai sumber belajar bermanifestasi kedalam pemahaman diri selalu benar, merasa paling hebat dan menjadi cemburu terhadap capaian murid yang melampauinya . Padahal pada hakikat profesi ini justru jika murid melampaui capaian sang guru menandakan guru tersebut telah berhasil meletakan pondasi pengetahuan bagi siswanya. Dalam praktik mengajar penulis pernah mengajar selama lima tahun dalam 3 level pendidikan yang berbeda SMP dilevel pendidikan dasar, SMK di level pendidikan menengan dan politeknik di level pendidikan tinggi, yang selanjutnya sejak 2011 penulis hanya berfokus dipendidikan tinggi saja, selama pengalaman mengajar tersebut penulis mendapatkan pemahaman ibarat penambang dan pengrajin permata, kita hamya menemukan ,memoles, dan membuang retakan retakan kecil dari permata tersebut , Namun Kilau dan kualitas permata tersebut akan menjadi berharga tinggi setelah berada dilingkungan yang tepat sesuai kualitas permata itu sendiri. Ketika batu permata tersebut sangat berkualitas istimewa maka keberadaanya menjadi sangat berharga sehingga digunakan sebagai penghias mahkota siatas kepalaseorang raja.

Guru sebagai Agen Perubahan Sosial (Agent of Change)

Guru memiliki tanggung jawab moral untuk menanamkan nilai-nilai karakter, literasi multikultural, dan global citizenship. Mereka adalah prototipe pembelajar seumur hidup yang mendorong siswa untuk menjadi warga negara yang kritis dan adaptif.sebagai seorang pembelajar yang menjadi role mode bagi masyarakat maka Guru tidak bisa melepaskan diri dari etiket yang disndanya meski atas dasar profesionalitas versus kehidupan pribadi ( Privacy) maraknya kasus perelingkuhan ASN yang didominasi oleh profesi guru juga merupakan fakta yang kontra produktif terhadap peran sebagai agen perubahan masyarakat, salah satunya ditujukan oleh maraknya pemberitaan peningkatan kasus gusat cerai disejumlah daerah setelah proses penyerahan SK PPPK.

Guru sebagai Coach dan Fasilitator Refleksi

Dalam konteks Kurikulum Merdeka di Indonesia, peran guru sebagai fasilitator dan coach menjadi sentral. Guru membantu siswa mengidentifikasi potensi mereka, mengembangkan keterampilan metakognitif, dan melakukan refleksi atas proses belajar mereka.dalam pengalaman penulis sebagai jurnalis lokal, pernah mejadi mentor dari siswa yang diajar dilembaga sebelum siswa tersebut lulus wisuda mereka mampu berkembang menjadi jurnalis yang baik meski tidak linear jenjang pendidikanya dengan profesi yang digeluti mereka , bahkan keduanya mampu melampaui capaian metor mereka dengan menjadi jurnalis profesional di media nasional.

Kompetensi Guru di Abad ke-21

Redefinisi peran menuntut pembaruan kompetensi. Selain empat kompetensi inti (pedagogik, profesional, kepribadian, dan sosial), guru kini harus menguasai Kompetensi Digital dan Literasi Data, Kemampuan mengintegrasikan teknologi secara efektif dan menggunakan data pembelajaran untuk pengambilan keputusan pedagogis.Kedua Kompetensi Social and Emotional Learning (SEL). Kemampuan untuk mengelola emosi diri dan orang lain, serta mengajarkan empati dan keterampilan sosial kepada siswa.Ketiga Kompetensi Adaptif dan Growth Mindset.  Kesediaan untuk terus belajar dan beradaptasi dengan inovasi pedagogis baru, melihat tantangan sebagai peluang pengembangan.

Implikasi Kebijakan pada Hari Guru Nasional

Peringatan Hari Guru Nasional harus menjadi momentum untuk menggalakkan kebijakan yang mendukung redefinisi ini:

  1. Pengembangan Profesional Berkelanjutan (PPB): PPB harus bergeser dari pelatihan yang bersifat one-shot menjadi komunitas belajar profesional (Professional Learning Communities/PLC) yang berkelanjutan dan berbasis kebutuhan sekolah.
  2. Otonomi dan Akuntabilitas: Guru perlu diberikan otonomi pedagogis yang lebih besar dalam mendesain kurikulum, diikuti dengan sistem akuntabilitas yang jelas dan mendukung perbaikan berkelanjutan.
  3. Kesejahteraan dan Pengakuan: Peningkatan kesejahteraan finansial harus diiringi dengan pengakuan non-finansial terhadap peran guru sebagai inovator dan pemimpin di sekolah.

Akhir

Redefinisi profesi guru adalah suatu keniscayaan di era disrupsi. Profesi ini bertransformasi dari penyampai konten menjadi arsitek pembelajaran masa depan. Hari Guru Nasional harus dimanfaatkan sebagai katalis untuk mendorong transformasi ini melalui peningkatan kompetensi digital, penguatan peran sebagai coach, dan dukungan kebijakan yang holistik. Keberhasilan sistem pendidikan Indonesia di masa depan akan sangat bergantung pada seberapa cepat dan efektif para guru menginternalisasi dan mengaktualisasikan peran baru ini.

Daftar Referensi

  • Fullan, M., & Quinn, J. (2016). Coherence: The Right Drivers in Action for Schools, Districts, and Systems. Corwin Press.
  • King, A. (1993). From Sage on the Stage to Guide on the Side. College Teaching, 41(1), 30-35.
  • Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 35 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru.
  • OECD. (2019). TALIS 2018 Results (Volume I): Teachers and School Leaders as Lifelong Learners. OECD Publishing.