Membangun Kampus Inklusif: Dari Akses Fisik ke Transformasi Budaya Akademik

Wednesday, 03 December 2025

Oleh Muhammad Fithrayudi Triatmaja

Universitas Muhammadiyah Pekajangan Pekalongan (UMPP)

Pekalongan - Evolusi konsep kampus inklusif menandai pergeseran paradigma dari pendekatan kompensasi menuju pendekatan transformatif. Awalnya, inklusivitas dipersepsikan secara terbatas pada penyediaan akses fisik, seperti ramp, lift, dan fasilitas bagi difabel. Meski krusial, pendekatan ini belum memadai karena hanya menyentuh aspek permukaan. Inklusivitas sejati mensyaratkan transformasi mendalam pada budaya akademik, di mana keberagaman baik dalam kemampuan, latar belakang, identitas, maupun cara belajar dipandang sebagai aset intelektual yang memperkaya proses pembelajaran. Perguruan tinggi yang inklusif memberikan kesempatan pendidikan yang sama kepada semua mahasiswa tanpa memandang latar belakang, kemampuan fisik, status ekonomi, atau perbedaan lainnya. Kampus-kampus seperti ini memberikan dukungan, fasilitas, dan lingkungan yang adil bagi semua, termasuk mahasiswa penyandang disabilitas dengan tersedianya Unit Layanan Disabilitas (ULD) dan program-program pendukung.

Di Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas mengatur prinsip-prinsip penghormatan, perlindungan, pemenuhan hak, penyediaan aksesibilitas, dan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas. Undang-undang ini bertujuan untuk menjamin hak dan kesempatan yang sama bagi penyandang disabilitas untuk hidup sejahtera, mandiri, dan tanpa diskriminasi.  Implementasi kampus inklusif bukan tanpa tantangan. Diperlukan perubahan mindset, komitmen finansial berkelanjutan, dan evaluasi terus-menerus. Namun, manfaatnya jauh lebih besar. Kampus inklusif menghasilkan lulusan yang lebih empatik, kreatif, dan siap menghadapi dunia yang plural serta menjadi wadah pengembangan ilmu pengetahuan yang kaya perspektif. Dengan demikian, membangun kampus inklusif bukanlah sekadar pemenuhan kewajiban, melainkan investasi strategis untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil dan manusiawi melalui pendidikan tinggi.

Transformasi ini berdiri di atas tiga pilar integral. Pertama, akses universal yang holistik, yang melampaui infrastruktur fisik menuju akses terhadap ilmu pengetahuan. Penerapan Universal Design for Learning (UDL) dalam kurikulum menjadi kunci, dengan menyediakan multi-representasi konten, multi-opsi ekspresi pemahaman, dan multi-cara keterlibatan mahasiswa. Kedua, pembentukan iklim sosial-psikologis yang aman dan responsif. Ini memerlukan pelatihan kesadaran inklusi bagi seluruh sivitas akademika, pembentukan unit layanan dukungan khusus, serta pemberantasan praktik diskriminasi dan mikroagresi di ruang kelas maupun interaksi sosial kampus. Pilar ketiga adalah kepemimpinan dan kebijakan yang berkomitmen dan koheren.

Komitmen ini harus termanifestasi dalam dokumen strategis, alokasi anggaran berkelanjutan, serta sistem rekrutmen dan promosi yang adil. Tanpa dukungan struktural dari pimpinan tertinggi, upaya inklusi hanya akan menjadi program parsial dan temporer. Dengan mengintegrasikan ketiga pilar ini, kampus tidak hanya memenuhi kewajiban legal, tetapi melakukan transformasi budaya yang mendasar. Pada akhirnya, kampus yang inklusif adalah kampus yang mempersiapkan lulusannya untuk memimpin dunia yang majemuk, sekaligus mereproduksi pengetahuan yang lebih relevan dan empatik. Dengan demikian, membangun kampus inklusif adalah investasi fundamental bagi masa depan pendidikan dan peradaban itu sendiri.